PENGUATAN KECERDASAN EKSISTENSIAL DALAM PEMBELAJARAN MENULIS PUISI MELALUI METODE KARYAWISATA

Disusun Oleh:
Nimas Amalia Ulfa, S.Pd.

  1. Pendahuluan

Kecerdasan kerap diartikan sebagai kapasitas logis seseorang dalam memahami berbagai hal, mengelola informasi, dan mengoptimalkan pemecahan masalah. Kecerdasan yang tinggi sering dianggap sebagai indikator utama keberhasilan seseorang, khususnya dalam dunia pendidikan. Namun, sering terjadi miskosepsi yang melihat tingkat kecerdasan hanya berdasarkan nilai kecerdasan linguistik dan matematis-logis (akademis). Walaupun nilai kecerdasan tersebut dapat mengukur keberhasilan siswa dalam menjalankan pendidikan di sekolah, namun belum tentu dapat menjadi ukuran nilai keberhasilan siswa dalam kehidupan nyata. Hal ini karena dalam teori kecerdasan majemuk, terdapat beberapa jenis kecerdasan lainnya yang tidak kalah penting dalam keberhasilan seseorang. Seperti kecerdasan eksistensial yang menegedepankan pemaknaan mendalam seseorang terhadap fenomena di sekitarnya.

Berdasarkan teori kecerdasan majemuk, kecerdasan eksistensial tidak kalah relevan dalam konteks kebutuhan siswa saat ini. Kecerdasan ini memungkinkan siswa untuk merenungkan pertanyaan mendalam tentang kehidupan mereka. Dalam proses pembelajaran, siswa yang memiliki kecerdasan eksistensial tinggi akan lebih mampu mengekspresikan pemikiran dan perasaan mereka, sehingga dapat memperkaya interaksi sosial di kelas. Kecerdasan eksistensial dapat diasah dengan berbagai cara, satudiantaranya melalui pembelajaran sastra di sekolah.

Keterkaitan antara kecerdasan eksistensial dan sastra sangat signifikan. Sastra merepresentasikan pengalaman manusia melalui bahasa yang estetis dan reflektif, memungkinkan pembaca mengeksplorasi berbagai dimensi eksistensial kehidupan dengan caranya sendiri. Akibatnya, sastra sering menyajikan tema-tema yang berkaitan dengan eksistensi manusia, seperti cinta, kematian, dan pencarian makna hidup. Melalui interaksi dengan teks sastra, siswa tidak hanya memperluas wawasan, tetapi juga mengembangkan empati dan kesadaran sosial yang lebih tinggi.

Dengan mengintegrasikan sastra dalam kurikulum, pendidik dapat menciptakan ruang bagi siswa untuk menjelajahi pertanyaan eksistensial. Lebih dari sekadar menumbuhkan minat baca, integrasi sastra dalam kurikulum juga dapat meningkatkan penguasaan empat aspek keterampilan berbahasa (menyimak, berbicara, membaca, menulis) yang secara tidak langsung dapat dijadikan alat untuk meningkatkan kemampuan berpikir kritis-kreatif dan pengembangan potensi diri siswa.[1] Hal ini tidak hanya memenuhi kebutuhan siswa untuk memahami diri mereka dan tempat mereka di dunia, tetapi juga meningkatkan kemampuan mereka dalam berpikir kritis dan berempati, yang esensial dalam pembelajaran seumur hidup.

Setiap karya sastra memiliki cara sendiri dalam penyajian olah emosi pengarangnya. Seperti puisi yang mampu melibatkan emosi secara mendalam, dengan ciri khas memiliki penyajian makna yang padat dan kompleks dalam jumlah kata yang sedikit. Pengalaman merupakan modal utama dalam proses penciptaan puisi. Semakin kaya pengalaman yang dimiliki pengarang, maka semakin kaya makna yang terkandung dalam puisi yang diciptakan.

Maka dari itu, metode karyawisata dinilai cocok menjadi cara inovatif yang dapat digunakan guru dalam pembelajaran sastra, terutama dalam penulisan puisi. Dengan memfasilitasi siswa untuk menemukan objek baru diluar tempat dan aktifitas sehari hari, dapat menambah pengalaman siswa dalam pembuatan karya sastra seperti puisi. Selain itu, mengintegrasikan sastra dalam kurikulum, terutama melalui pembelajaran menulis puisi dengan metode karyawisata, dapat memberikan pengalaman belajar yang mendalam bagi siswa. Karyawisata, sebagai pendekatan pembelajaran yang mengajak siswa untuk menjelajahi lingkungan sekitar, memungkinkan mereka untuk terhubung dengan dunia nyata sambil merenungkan tema-tema eksistensial yang dihadapi dalam puisi. Dengan demikian, pendekatan ini tidak hanya memperkaya pengalaman belajar siswa, tetapi juga mendorong mereka untuk mengembangkan sensitivitas estetis, kemampuan berpikir reflektif, dan ekspresi kreatif dalam menghadapi isu-isu eksistensial kehidupan.

 

  1. Pendekatan Teori
  1. Kecerdasan eksistensial

Pada dasarnya, kehidupan memerlukan banyak kemampuan untuk beradaptasi. Howard Gardner mengemukakan bahwa manusia memiliki sembilan jenis kecerdasan yang dapat dikembangkan, yaitu: (1) Kecerdasan visual-spasial, yang mencerminkan kemampuan untuk membayangkan bentuk dan pola secara visual. (2) Kecerdasan linguistik-verbal, yang berkaitan dengan keterampilan menggunakan bahasa secara efektif, baik lisan maupun tulisan. (3) Kecerdasan logis-matematis, yang melibatkan kemampuan berpikir logis dan melakukan analisis secara ilmiah. (4) Kecerdasan kinestetik-jasmani, yang merujuk pada penguasaan gerakan tubuh dan keterampilan motorik. (5) Kecerdasan musikal, yang mencakup kepekaan terhadap irama, nada, serta kemampuan mengekspresikan diri melalui musik. (6) Kecerdasan interpersonal, yakni kemampuan memahami perasaan dan motivasi orang lain serta menjalin hubungan sosial. (7) Kecerdasan intrapersonal, yaitu kemampuan mengenali diri sendiri dan mengelola emosi secara sadar. (8) Kecerdasan naturalistik, yang berhubungan dengan kemampuan mengenali dan berinteraksi dengan lingkungan alam. (9) Dan yang terakhir, kecerdasan eksistensial, yaitu kepekaan terhadap pertanyaan-pertanyaan filosofis yang mendalam seperti makna hidup, kematian, dan keberadaan manusia.[2]

Dalam kata lain kecerdasan eksistensial adalah kemampuan berpikir tentang sesuatu yang hakiki menyangkut eksistensi seperti kehidupan, kepercayaan dan sebagainya. Dalam pandangan Amstrong yang dikutip oleh Joko Subroto, kecerdasan eksistensial dapat mulai terlihat sejak masa kanak-kanak. Individu dengan kecerdasan ini umumnya menunjukkan kecenderungan untuk mempertanyakan hal-hal fundamental tentang kehidupan, mencari akar persoalan, merefleksikan pengalaman, serta mempertimbangkan kembali berbagai pendapat dan gagasan. Mereka dinilai memiliki kemampuan untuk memahami posisi diri dalam konteks yang lebih luas serta mampu merasakan, membayangkan, dan merancang sesuatu yang bersifat besar dan bermakna.[3]

Individu dengan kecerdasan eksistensial tinggi, tidak ditentukan dengan baik atau tidaknya tindakan dari kesimpulan atau “kebenaran terakhir” seseorang. Bisa di katakan bahwa oran-orang seperti ustad, pastor, uskup, pandita atau bante termasuk dalam golongan orang yang memiliki kecerdasan eksistensial. Begitu juga dengan orang-orang seperti agnostik, skeptisis, ateis atau penghujat juga dapat digolongkan dalam orang yang memiliki kecerdasan eksistensial. Setiap orang ini bergulat dengan pertanyaan-pertanyaan yang sama pada intensitas kerumitan yang sama, namun menghasilkan konsep esensi kebenaran mutlak yang berbeda. 

Individu yang memiliki kecerdasan eksistensial umumnya menunjukkan sejumlah karakteristik, antara lain: (1) Cenderung mempertanyakan hal-hal mendalam terkait hakikat, tujuan, dan nilai suatu hal. (2) Memiliki kepekaan dalam menyadari eksistensi diri atau sesuatu sebagai bagian dari keseluruhan yang lebih luas. (3) Mampu mengemukakan penilaian dan memberikan tanggapan terhadap berbagai situasi. (4) Dapat menjawab pertanyaan yang berkaitan dengan perasaan, impian, dan pemikirannya secara reflektif. (5) Menunjukkan reaksi yang terkendali terhadap pengalaman hidup serta mampu mengambil pelajaran dari kejadian tersebut. (6) Berani menerima kebenaran yang diyakini dan mampu memperjuangkan keyakinan serta rasa keadilannya.[4]

Berdasarkan pemaparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa seseorang dengan kecerdasan eksistensial memiliki kebiasaan untuk menganalisis sesuatu sebelum mengambil kesimpulan serta berpikir secara mendalam. Seperti yang dikatakan oleh pencetus teori majemuk ini, bahwa 9 kecerdasan majemuk termasuk kecerdasan eksistensial merupakan kecerdasan yang sangat mungkin untuk di pelajari. Oleh karena itu, terdapat beberapa cara belajar yang cocok digukanan siswa dengan kecerdasan eksistensial: panggung beramal, membaca puisi romantis, berjalan dan berpikir, diskusi tentang isu-isu sosial, merespon suatu peristiwa, mengamati isu-isu lokal, dan menulis persoalan sosial.[5]

  1. Pembelajaran Karyawisata

 Pembelajaran karyawisata merupakan metode pembelajaran yang melibatkan kunjungan langsung ke lokasi tertentu untuk mengamati, mempelajari, dan memperoleh pengalaman langsung terkait suatu topik atau materi pelajaran. Metode ini dipandang mampu menciptakan pengalaman belajar yang lebih bermakna dan memikat bagi siswa.

Metode karyawisata merupakan perpaduan dari berbagai pendekatan pembelajaran seperti pembelajaran kontekstual (contextual teaching and learning), bermain peran (role playing), pembelajaran partisipatif, pembelajaran tuntas (mastery learning), serta strategi inkuiri. Adapun tahapan utama dalam pelaksanaan metode ini meliputi:

  1. Perencanaan karyawisata: Menyusun tujuan kegiatan, memilih lokasi karyawisata yang relevan dengan capaian pembelajaran, menentukan durasi kegiatan, merancang aktivitas belajar yang akan dilakukan peserta didik selama kegiatan berlangsung, serta menyiapkan perlengkapan pembelajaran yang diperlukan.
  2. Pelaksanaan karyawisata: Melaksanakan kegiatan belajar di lokasi karyawisata dengan pendampingan guru, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah dirancang.
  3. Tindak lanjut: Peserta didik menyampaikan laporan, baik secara lisan maupun tertulis, mengenai isu atau permasalahan yang telah mereka pelajari selama kegiatan berlangsung.[6]
  1. Menulis Puisi

Puisi merupakan satu diantara bentuk karya sastra yang diekspresikan melalui bahasa. Bahasa dalam puisi ditulis dengan indah, bermakna, penuh simbol dan kiasan untuk menciptakan efek estetika tertentu.  Menurut Suminto A. Sayuti (2000), puisi adalah representasi dari pengalaman batin penyair yang disampaikan melalui bahasa yang bersifat puitis. Dengan kata lain, puisi tidak hanya berkaitan dengan isi yang disampaikan, tetapi juga dengan cara penyampaiannya.[7]

Puisi memiliki kekhasan dalam penggunaan bahasa dan penyampaian makna. Ciri utama dari puisi terletak pada bahasa yang penuh makna, di mana setiap kata dipilih dan disusun dengan cermat untuk menciptakan kedalaman makna dan menggugah emosi pembaca. Puisi juga dikenal karena kependekan dan kepadatannya; meskipun singkat, setiap unsur memiliki bobot makna yang kuat. Selain itu, puisi memanfaatkan imaji atau citraan untuk menggambarkan pengalaman indrawi pembaca, seperti penglihatan, pendengaran, perasaan, dan penciuman. Gaya bahasa figuratif seperti metafora, simile, personifikasi, dan hiperbola pun sering digunakan untuk memberikan efek estetis dan emosional. Pada puisi modern, terdapat kebebasan dalam bentuk dan struktur, tidak lagi terikat oleh aturan rima dan metrum yang kaku.

Dalam penulisan puisi, terdapat beberapa teori utama yang dapat dijadikan dasar untuk memahami proses kreatif dan struktur karya. Teori ekspresif melihat puisi sebagai wujud ekspresi dari pikiran, perasaan, dan imajinasi penyair. Fokus utama teori ini adalah subjektivitas, di mana puisi menjadi media untuk menyalurkan emosi dan pengalaman pribadi. Sementara itu, teori estetika memandang puisi sebagai bentuk seni yang menekankan keindahan bahasa. Dalam pendekatan ini, penggunaan kata, irama, rima, dan gaya bahasa dipilih secara estetik untuk menciptakan daya tarik emosional dan artistik. Berbeda dengan dua teori sebelumnya, teori strukturalisme menitikberatkan pada bentuk dan keterkaitan antarunsur dalam puisi. Struktur seperti bait, baris, rima, dan ritme dianggap sebagai sistem tanda yang menyusun makna keseluruhan. Di sisi lain, teori pragmatik memandang puisi sebagai sarana komunikasi antara penyair dan pembaca, menekankan pada bagaimana makna dipahami dan direspon oleh pembaca.

Selain landasan teori, pemahaman terhadap unsur-unsur puisi juga penting dalam proses penulisan. Unsur-unsur tersebut meliputi tema sebagai ide pokok puisi, diksi atau pilihan kata yang menentukan suasana, rima dan irama yang membentuk pola bunyi, gaya bahasa yang menciptakan kekuatan makna, serta imaji yang menghadirkan pengalaman indrawi secara visual maupun emosional. Unsur-unsur ini saling terkait dan membentuk struktur puisi yang utuh dan bermakna.

Proses kreatif dalam menulis puisi biasanya dimulai dari inspirasi, yang dapat muncul dari pengalaman pribadi, lingkungan sekitar, atau karya sastra lain. Setelah inspirasi muncul, penyair akan menuangkannya dalam draf awal yang bersifat spontan. Tahap selanjutnya adalah penyempurnaan, di mana penyair melakukan revisi terhadap diksi, struktur, dan unsur lainnya untuk memastikan kejelasan makna dan kekuatan emosional. Proses ini ditutup dengan pembacaan ulang dan evaluasi, baik secara mandiri maupun melalui umpan balik dari pembaca lain.

Dalam konteks pendidikan, pengajaran menulis puisi dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan. Pendekatan struktural berfokus pada pemahaman unsur-unsur puisi, sementara pendekatan proses menekankan pada tahapan kreatif dalam penulisan. Di sisi lain, pendekatan apresiatif bertujuan membangun kecintaan siswa terhadap puisi melalui pembacaan dan penghargaan terhadap karya sastra sebelum mereka mulai menulis.

Dengan memahami ciri-ciri, teori, unsur, dan proses kreatif dalam menulis puisi, seseorang dapat mengembangkan keterampilan menulis puisi yang tidak hanya estetis tetapi juga bermakna. Keindahan puisi terletak pada kemampuannya menyampaikan makna yang dalam melalui bahasa yang padat dan simbolik. Oleh karena itu, pemahaman teoritis yang mendalam menjadi landasan penting dalam menciptakan karya puisi yang efektif.

 

 

  1. Pembahasan

Berdasarkan teori kecerdasan majemuk tersebut, terlihat bahwa tingkat kemampuan seseorang tidak hanya dapat dinilai dari aspek kecerdasan linguistik-verbal yang memungkinkan seseorang dapat menyusun kata dan berbicara dengan baik, ataupun hanya dari kecerdasan logis-matematik yang memungkinkan seseorang dapat mengerjakan soal-soal pada sebagian besar mata pelajaran di sekolah. Karena sebagai manusia berdaya, juga membutuhkan kesadaran penuh tentang eksistensi diri, agar dapat memahami apa tugas setelah dilahirkan.

Pemahaman eksistensi diri hanya dapat di pahami dengan kesadaran penuh dan proses yang panjang. Pemaknaan eksistensi diri yang baik akan sejalan dengan perilaku yang baik pula dan sebaliknya pemaknaan eksistensi diri yang buruk akan sejalan dengan perilaku yang buruk pula. Untuk itu, penting mengasah kecerdasan eksistensial siswa sedini mungkin, agar dapat tergiring secara tepat sesuai dengan norma-norma yang berlaku di agama dan masyarakat.

  1. Peran Kecerdasan Eksistensial dalam Menulis Puisi

Kecerdasan eksistensial mendorong siswa untuk tidak hanya sekadar memahami peristiwa, tetapi juga merenungkan makna terdalam di balik pengalaman yang mereka alami. Dalam konteks menulis puisi, hal ini menjadi kekuatan utama yang membedakan puisi bersifat dangkal dengan puisi yang menggugah dan bermakna. Dalam proses penulisan puisi, siswa diberi ruang untuk mengolah mengalaman indrawi menjadi bahasa yang padat, penuh simbol, dan kiasan untuk menciptakan efek estetika tertentu. Dari proses kontemplasi inilah siswa dengan kecenderungan eksistensial yang baik, cenderung memproses pengalaman mereka sebagai bahan untuk mengeksplorasi pertanyaan mendasar seperti tentang identitas, tujuan hidup, hubungan antar manusia, bahkan makna penderitaan atau kebahagiaan, sebagai materi untuk menciptakan sebuah puisi yang menggugah dan bermakna.

Di samping itu, nilai-nilai kemanusiaan seperti kasih sayang, keadilan, empati, dan kejujuran seringkali muncul secara alami dalam puisi-puisi yang mereka tulis, bukan karena diajarkan secara eksplisit, tetapi karena lahir dari proses kontemplasi pribadi yang dalam tadi. Oleh karena itu, proses penciptaan puisi yang didukung dengan pengenalan kecerdasan eksistensial dapat menjadi media ekspresi untuk menyalurkan perenungan mereka terhadap kehidupan, serta menghadirkan suara hati yang kadang sulit diungkapkan dalam bentuk sastra lainnya. Dengan demikian, kecerdasan eksistensial tidak hanya memperkaya isi puisi, tetapi juga menjadikan proses menulis sebagai sarana pembentukan karakter dan penemuan jati diri siswa yang tentu dapat diarahkan pada nilai moral yang berlaku di masyarakat.

  1. Efektivitas Karyawisata dalam Mengembangkan Kecerdasan Eksistensial

Secara teori, tujuan dari metode pembelajaran karyawisata dapat dibagi menjadi tiga bagian. Pertama, untuk memperkaya pengetahuan yang telah diperoleh di sekolah atau kelas. Kedua, untuk memberikan pengalaman langsung dalam melihat, mengamati, dan merasakan suatu objek. Ketiga, untuk menanamkan nilai moral kepada peserta didik..[8] Meskipun metode ini memerlukan persiapan yang matang dan pada dasarnya digunakan sebagai tindak lanjut dari proses belajar dikelas, metode karyawisata sebagai metode pembelajaran terbukti efektif dalam mengembangkan kecerdasan eksistensial siswa karena memberikan ruang reflektif yang otentik dan bermakna.

Ketika siswa berada langsung di lingkungan nyata, mereka tidak hanya memperoleh pengetahuan kontekstual, tetapi juga mengalami momen perenungan yang mendalam terhadap realitas kehidupan yang mereka saksikan. Misalnya, kunjungan ke tempat bersejarah, wisata alam, atau komunitas tertentu dapat memantik pertanyaan mendasar dalam diri siswa tentang makna hidup atau nilai-nilai kemanusiaan. Dalam konteks ini, pengalaman selama karyawisata dapat menjadi pemicu eksternal untuk menumbuhkan kesadaran eksistensial.

Ketika berkunjung ke suatu tempat, siswa akan mendapatkan sensasi berbeda dari rutinitas belajar biasanya. Hal tersebut akan mempermudah proses pemaknaan karena siswa sedang berada pada mode eksplorasi. Dengan arahan yang tepat, siswa dapat mulai mengamati objek yang ada di sekitar mereka dengan kepekaan batin, serta mulai merenungkan peristiwa yang mereka lihat, serta mengaitkannya dengan diri mereka sendiri sampai pola masyarakat yang pernah mereka lihat sebelumnya. Proses ini mendorong mereka untuk menggali kedalaman rasa, membangun empati, serta memikirkan tujuan dan peran mereka sebagai individu dalam tatanan sosial. Dengan kata lain, melalui pengalaman nyata yang difasilitasi oleh karyawisata, kecerdasan eksistensial siswa dapat tumbuh secara alami dan kontekstual menjadi dasar yang kuat dalam penciptaan puisi yang autentik dan merefleksikan pengalaman mereka.

  1. Pembelajaran Karyawisata dalam Menulis Puisi sebagai Sarana Penguatan Kecerdasan Eksistensial

Metode karyawisata menjadi sarana yang sangat efektif dalam memfasilitasi proses reflektif yang dibutuhkan oleh siswa dengan kecerdasan eksistensial. Melalui kegiatan observasi langsung terhadap objek-objek nyata di luar ruang kelas, siswa mendapatkan pengalaman emosional yang tidak dapat diperoleh hanya melalui pembelajaran teoretis. Pengalaman-pengalaman ini kemudian menjadi bahan baku bagi siswa untuk merenungkan nilai-nilai kehidupan dan menyusunnya dalam bentuk puisi.

Metode karyawisata merupakan metode yang memberikan kebebasan siswa dalam memaksimalkan semua indra dan potensi kemampuan bahasa yang mereka miliki. Maka dari itu dibutuhkan perencanaan yang baik agar siswa dapat memaksimal dalam mengolah informasi yang didapat menjadi sebuah puisi yang mengugah dan bermakna. Adapun langkah-langkah pelaksanaan metode karyawisata:

  1. Perencanaan karyawisata

Tentunya kunjungan ke suatu tempat tidak cukup untuk menciptakan pembelajaran bermakna, maka dari itu diperlukan rancangan modul pembelajaran yang efektif dan perlengkapan belajar yang harus disediakan seperti membentuk tim panitia yang terbagi berdasarkan tugasnya masing-masing dan menetapkan rute wisata yang akan dikunjungi dari awal hingga akhir. Pada perancangan metode pembelajaran karyawisata, guru juga perlu merumuskan tujuan pembelajaran, agar proses pembelajaran dapat berjalan sistematis dan mencapai hasil akhir yang maksimal. Selanjutnya guru perlu menetapkan objek karyawisata dan menetapkan lamanya karyawisata akan berlangsung.

  1. Pelaksanaan karyawisata

Pelaksanaan kegiatan belajar di tempat karyawisata dengan bimbingan guru, sesuai dengan tujuan pembelajaran yang telah ditentukan pada fase perencanaan. Pada konteks ini, materi penulisan puisi membutuhkan syarat pengetahuan yang sudah disampaikan sebelumnya di kelas seperti pengertian puisi, ciri-ciri puisi, jenis-jenis puisi, contoh puisi berdasarkan jenisnya, unsur intrinsik dan ekstrinsik puisi, serta tahap-tahap menulis puisi. Syarat pengetahuan ini memastikan siswa telah memahami konsep dasar puisi dan bagaimana cara mengolah informasi dari objek wisata yang akan mereka dapatkan pada saat proses karyawisata berlangsung.

Pastiakan setiap tahapan dapat meningkatkan empat keterampilan berbahasa secara maksimal. Pertama, keterampilan menyimak yang dapat diasah dengan memberikan siswa waktu untuk mengobservasi lingkungan dengan memberikan bekal pertanyaan untuk memantik imajinasi siswa dengan pengalaman batin yang mendalam seperti, (1) Apa yang membuat tempat ini terasa ‘hidup’ atau bermakna bagimu?, (2) Bagaimana perasaanmu saat menyaksikan kehidupan di tempat ini? Apa yang kamu renungkan?, (3) Apa yang kamu pikirkan tentang dirimu ketika berada di tengah lingkungan ini?, (4) Jika kamu harus menuliskan satu hal yang paling menyentuh hati dari tempat ini, apakah itu? Mengapa?

Kedua, keterampilan berbicara dapat diasah dengan melibatkan siswa dalam diskusi reflektif berdasarkan pertanyaan pemantik yang telah diberikan. Pada tahap ini guru berperan sebagai fasilitator yang membangun percakapan terbimbing. Guru mendorong siswa untuk merenung secara mendalam atas pengalaman atau peristiwa yang mereka alami, dengan tujuan menggali makna, perasaan, dan pemahaman pribadi. Pada tahap ini siswa diharapkan lebih aktif berbicara mengungkapkan pendapatnya dengan suasana terbuka dan aman, tidak ada jawaban benar atau salah.

 Ketiga, keterampilan membaca dapat diasah dengan tahap eksplorasi puisi serupa. Pada tahap ini siswa siswa di minta untuk mencari, membaca, dan memahami puisi-puisi dari tokoh sastrawan yang sudah ada. Sumber puisi dapat dicari melalui internet ataupun kunjungan ke perpustakaan sekolah. Pada tahap ini siswa dapat meterapkan sistem amati, tiru modifikasi yang akan membantu dalam proses penciptaan puisi, sekaligus mengenal tokoh-tokoh sastrawan Indonesia.

Keempat, keterampilan menulis tentunya dapat diasah dengan tahap menulis karya puisi siswa. Siswa diberi waktu untuk menuangkan hasil pemaknaan selama proses karyawisata berlangsung. Pastikan suasana saat proses menulis tentang dan kondusif, agar tidak memecah konsentrasi siswa.

  1. Tindak lanjut

Setelah memastikan setiap tahapan dapat meningkatkan empat keterampilan berbahasa secara maksimal, saatnya guru berperan aktif untuk mengapresiasi dan mengajak siswa untuk mengapresiasi karya puisi yang telah dibuat. Guru dapat memulai dengan menciptakan suasana apresiatif di kelas, misalnya melalui kegiatan pembacaan puisi secara sukarela di depan kelas, disertai tanggapan positif dari teman-teman. Dalam momen ini, guru perlu mencontohkan cara menyampaikan apresiasi yang tulus, seperti mengomentari kekuatan diksi, kedalaman makna, atau keunikan perspektif yang ditampilkan dalam puisi siswa. Selain itu, guru dapat memberikan ruang bagi siswa untuk saling memberi tanggapan tertulis menggunakan lembar apresiasi sederhana, agar setiap siswa merasa karyanya dihargai dan direspon secara personal. Kegiatan apresiasi ini tidak hanya menumbuhkan rasa percaya diri dan bangga pada karya sendiri, tetapi juga menumbuhkan empati, toleransi, dan kemampuan menyimak secara kritis terhadap ekspresi orang lain. Pada akhirnya, suasana kelas yang penuh penghargaan terhadap karya sastra akan mendorong siswa untuk terus menulis dan mengeksplorasi potensi dirinya.

  1. Simpulan

Penguatan kecerdasan eksistensial dalam pembelajaran menulis puisi melalui metode karyawisata dapat memberikan dampak positif terhadap kemampuan reflektif dan ekspresif siswa. Kegiatan karyawisata yang dirancang sebagai pengalaman belajar langsung, memberi siswa ruang untuk mengamati realitas secara lebih dalam dan bermakna. Interaksi dengan alam, budaya lokal, atau fenomena sosial yang mereka jumpai menjadi sumber inspirasi yang kaya untuk dituangkan dalam bentuk puisi. Dengan begitu siswa dapat menunjukkan peningkatan dalam kemampuan meresapi pengalaman dan menghubungkannya dengan nilai-nilai kehidupan yang bersifat eksistensial. Misalnya, setelah melakukan kunjungan ke situs sejarah, beberapa siswa menulis puisi bertema perjuangan dan makna kebebasan, dengan gaya bahasa yang lebih simbolik dan reflektif dibandingkan sebelum mereka mengikuti kegiatan. Hal ini menunjukkan bahwa metode karyawisata tidak hanya memperkaya konten puisi, tetapi juga mendorong siswa untuk menggali pertanyaan-pertanyaan mendasar tentang hidup, waktu, dan kemanusiaan ciri khas dari kecerdasan eksistensial. Melalui proses kreatif menulis puisi yang berlandaskan pengalaman personal dan emosi, siswa juga belajar mengembangkan empati, kepekaan sosial, serta kemampuan berpikir mendalam terhadap berbagai fenomena di sekitarnya.

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

 

Daftar Pustaka

Iskandar. (2020). Penerapan Metode Pembelajaran Karyawisata Pada Mata Kuliah Kewirausahaan Guna Meningkatkan Antusiasme Belajar Dan Minat Berwirausaha Mahasiswa Di Pendidikan Tinggi. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan (JBK), 9(1), 68-81. Retrieved from https://e-jurnal.stienobel-indonesia.ac.id/index.php/jbk

Joko Subroto. Mengenal Kecerdasan Manusia. (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2021), hal.56.

Mulyono dan Ismail Suardi W. Strategi Pembelajaran di abad digital. (Yogyakarta:Penerbit Gawe Buku,2018), hal. 83—84.

Sayuti, Suminto A. (2000). Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

Silaswati, Diana, Deanty Rumandang Bulan, and Dani Hermawan. "Model Pembelajaran Apresiasi Kajian Sastra Terpadu Untuk Penguasaan Empat Aspek Keterampilan Berbahasa." METAMORFOSIS| Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya 12.2 (2019): 26-39.

Soeradji Tirtonegoro, Tipe Kecerdasan, (https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/264/type-kecerdasan, Diakses pada 8 Oktober 2024)

Yaumi, Muhammad, and Nurdin Ibrahim. Pembelajaran Berbasis Kecerdasan Jamak. (Jakarta: Kencana, 2013). hal. 24.

 

[1]  Silaswati, Diana, Deanty Rumandang Bulan, and Dani Hermawan. "Model Pembelajaran Apresiasi Kajian Sastra Terpadu Untuk Penguasaan Empat Aspek Keterampilan Berbahasa." METAMORFOSIS| Jurnal Bahasa, Sastra Indonesia dan Pengajarannya 12.2 (2019): 26-39.

[2] Soeradji Tirtonegoro, “Tipe Kecerdasan”, (https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/264/type-kecerdasan, Diakses pada 8 Oktober 2024)

[3] Joko Subroto. Mengenal Kecerdasan Manusia. (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2021), hal.56.

[4]  Joko Subroto. Mengenal Kecerdasan Manusia. (Jakarta:PT Bumi Aksara, 2021), hal.56.

[5] Yaumi, Muhammad, and Nurdin Ibrahim. Pembelajaran berbasis kecerdasan jamak. (Jakarta: Kencana, 2013). hal. 24.

[6] Mulyono dan Ismail Suardi W. Strategi Pembelajaran di abad digital. (Yogyakarta:Penerbit Gawe Buku,2018), hal. 83—84.

[7] Sayuti, Suminto A. (2000). Berkenalan dengan Puisi. Yogyakarta: Gama Media.

[8] Iskandar. (2020). PENERAPAN METODE PEMBELAJARAN KARYAWISATA PADA MATA KULIAH KEWIRAUSAHAAN GUNA MENINGKATKAN ANTUSIASME BELAJAR DAN MINAT BERWIRAUSAHA MAHASISWA DI PENDIDIKAN TINGGI. Jurnal Bisnis dan Kewirausahaan (JBK), 9(1), 68-81. Retrieved from https://e-jurnal.stienobel-indonesia.ac.id/index.php/jbk